OPINI  

Mengusir Wartawan dari Graha Pers adalah Mengusir Sejarah

Mengusir Wartawan dari Graha Pers adalah Mengusir Sejarah

Foto : Gedung Graha Pers Indramayu.(tangkapan layar) 

Oleh: Rahmat Budianto
Jurnalis PWI

sumberlima.com,-Surat pengosongan gedung Graha Pers Indramayu yang dilayangkan oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Indramayu, Aep Surahman, telah menggugah rasa keadilan di kalangan insan pers. Bukan hanya karena substansinya yang menekan, tetapi juga karena cara dan waktunya yang mencerminkan kurangnya penghargaan terhadap sejarah dan peran penting pers lokal.

Sebagai jurnalis yang juga aktif di organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), saya merasa prihatin dan geram. Gedung Graha Pers bukan sekadar bangunan. Ia adalah lambang kepercayaan antara pemerintah dan jurnalis sejak tahun 1985. Balai Wartawan, yang kemudian menjadi Graha Pers Indramayu, diberikan sebagai bentuk apresiasi atas dukungan pers dalam keberhasilan pembangunan daerah.

Lalu tiba-tiba, setelah 40 tahun lebih, hadir surat pengosongan dengan tenggat waktu 23 Juni 2025—tanpa musyawarah, tanpa dialog, dan tanpa empati.

Tindakan ini seakan menyamakan wartawan dengan penyewa liar yang harus segera hengkang. Ini bukan saja mencederai martabat organisasi, tetapi juga menorehkan luka pada demokrasi lokal yang sedang tumbuh.

Apakah pemerintah daerah lupa bahwa wartawan bukan hanya penyampai berita, tapi juga penjaga nalar publik? Apakah birokrasi kini melihat insan pers sebagai pengganggu alih-alih mitra kritis pembangunan?

Saya menilai bahwa langkah sepihak ini merupakan bentuk arogansi kekuasaan. Sungguh ironis ketika di satu sisi pemerintah menggaungkan transparansi dan kemitraan, tetapi di sisi lain justru menutup ruang dialog dengan surat yang bernada ultimatum.

PWI Indramayu sudah bersikap bijak: mereka tidak hanya menolak, tetapi juga membuka ruang untuk kemitraan konstruktif dan meminta klarifikasi. Ini menunjukkan bahwa wartawan tidak anti terhadap perubahan, tapi menolak perlakuan sewenang-wenang.

Jika surat Sekda tak dicabut dan musyawarah tidak ditempuh, maka wajar bila PWI mengambil langkah hukum. Karena yang dipertahankan bukan sekadar tempat, melainkan kehormatan, sejarah, dan keberlanjutan kiprah jurnalis sebagai penjaga demokrasi.

Kepada Bupati Indramayu, saya harap bisa turun tangan langsung. Jangan biarkan warisan kebersamaan selama empat dekade runtuh hanya karena miskomunikasi dan ego birokrasi. Kembalilah kepada semangat kolaborasi, bukan konfrontasi.

Karena ketika wartawan diperlakukan seperti beban, maka yang dipertaruhkan bukan hanya relasi kelembagaan, tapi juga integritas demokrasi itu sendiri.