Berlindung di Kata Oknum

Berlindung di Kata Oknum

Oleh Nana Suryana SAg MPd
Dosen Prodi PGMI IAILM Suryalaya

 

Di musim kampanye saat ini, publik dihebohkan dengan viralnya video deklarasi dugaan keberpihakan institusi yang sejatinya harus netral dalam hal pemilu, Di Garut misalnya, 13 anggota Satpol PP mendeklarasikan dukungan terhadap salah satu Cawapres (KP 4 Januari 2024).

Berdasarkan hasil pemeriksaan kepala Satpol PP Garut, U. Basuki Eko, deklarasi tersebut dilakukan oleh satu regu anggota Satpol PP berjumlah 13 orang. Semunya bukan tidak berstastus ASN tetapi sukwan atau TKK.

Eko memastikan bahwa perbuatan ke 13 oknum anggota Satpeol PP itu sama sekali tidak menggambarkan seluruh anggota Satpol PP Garut. Ulah para oknum tersebut menimbulkan kemarahan anggota Satpol PP yang lainya karena dianggap merugikan meraka, kata Eko.

Kasus ini satu dari sekian banyak kasus yang dibalut dalam kata oknum. Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena dengan menggunakan kata oknum bisa saja stigma negatif terhadap sebuah institusi terkurangi.

Pertanyaan kemudian apa yang dimaksud dengan “oknum? Bisakah kata ‘okum” menjadi alat pengurangan stigema negatif?.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata oknum memiliki tiga makna. Pertama oknum adalah penyebut diri Tuhan dalam agama Katolik; pribadi.

Kedua oknum adalah orang seorang; perseorangan. Yang terakhir oknum adalah orang atau anasir (dengan arti yang kurang baik). Pada makna kedua dari oknum, yang berupa orang atau perseorangan, atau makna ketiga yang berupa orang atau anasir (dengan arti yang kurang baik) menjadi makna yang paling dekat.

Ketiga arti oknum berdasar KBBI dikaitkan dengan contoh penggunaan kata oknum yang telah tuliskan sebelumnya, oknum mengacu pada seseorang yang terikat dengan suatu institusi tertentu dan melakukan suatu tindak kejahatan atau perbuatan buruk lainnya, dengan mengatasanamakan dirinya sendiri.

Dengan demikian penggunaan kata oknum bertujuan untuk memisahkan diri pribadi seseorang dari suatu lembaga atau institusi tempat dia bekerja atau terdaftar.

Dalam perspektif lain oknum adalah persoalan yang menyangkut perilaku penegak hukum yang tidak terpuji. Bukan perilaku institusi tetapi perorangan dari sebuah institusi (Pers Berkualitas Masyarakat Cerdas (2013).

Oknum dan Bahasa Politik
Okum adalah kata, kata yang dijadikan sebagai alat berlindung yang dalam istilah Mudjia Raharjo (2004) adalah bahasa dan kekuasan.

Menurut Mudjia Raharjo politik dan bahasa seperti dua bidang yang terpisah dan sama sekali tidak ada keterkaitan. Padahal, keduanya dapat dilihat dalam dua macam hubungan. Pertama, hubungan koordinatif, di mana politik dan bahasa berinteraksi, saling memengaruhi, dan tarik menarik secara setara.

Kedua, hubungan subordinatif di mana salah satu menjadi subjek dan lainnya menjadi objek.
Pada satu pihak bahasa dapat dijadikan agenda, kebijakan, dan sasaran kajian politik, sehingga politik menjadi subjek dan bahasa menjadi objek.

Dalam kasus penggunaan kata oknum, bahasa menduduki posisi objek yang digunakan mencapai suatu agenda tertentu, seperti melindungi citra dari sititusi atau lembaga terkait.

Dalam pandangan Mudjia Raharjo, bahasa bukan sekadar sebagai alat komunikasi antara individu satu dengan lainnya, antara masyarakat satu dengan lainnya. Bahasa sering dimanfaatkan sebagai alat untuk menunjukkan adanya kekuatan-kekuatan tertentu, baik oleh perseorangan, masyarakat, organisasi kemasyarakatan, pemegang kekuasaan, dan sebagainya.

Setiap penguasa selalu ingin mengamankan kekuasaan yang diperolehnya. Pengamanan ini diwujudkan dalam bentuk pemertahanan, pemapanan, dan pengukuhan kekuasaan. Karena itu, setiap elit penguasa selalu terns menerus melakukan konsolidasi kekuasaan dalam segala bidang yang bersentuhan dan bergayut dengan kekuasaannya dan dalam segala cara sejauh itu efektif untuk konsolidasi.

Usaha-usaha konsolidasi tersebut umumnya tidak hanya terbatas pada bidang politik clan militer, tetapi juga merambah ke wilayah kesadaran publik. Secara halus dan tak kasat mata serta mungkin tak disadari, konsolidasi kekuasaan tampaknya juga dilakukan pada bidang simbol-simbol sekaligus simbolik. Tak mengherankan kalau setiap penguasa senantiasa memproduksi dan mereproduksi simbol-simbol-baik simbol verbal maupun simbol nonverbal yang dapat memperkuat, memapankan, dan mengukuhkan kekuasaannya.

Bersamaan dengan hal itu, penguasa selalu melakukan pengawasan atau kontrol terhadap simbol-simbol yang diproduksi dan direproduksi oleh masyarakat dan yang beredar di masyarakat.

Simbol-simbol yang tidak terawasi atau terkontrol dapat membahayakan kekuasaan.
Kekuasaan, termasuk kekuasaan politik, tidak cukup hanya diwujudkan melalui penyederhanaan partai-partai politik, pembentukan lembaga perwakilan yang tanggap, tetapi juga rnelalui penguasaan ruang kesadaran dan memori kolektif masyarakat.

Lewat upaya terus menerus, penguasa membangun keabsahan kekuasaannya. Upaya itu berarti pencarian basis kultural dalam masyarakat, agar kehadirannya mendapat semacarn legitimasi kultural. Salah satu wilayah dunia simbolik yang tidak lepas dari jaring kekuasaan sekaligus menjadi sarana strategi hegemoni penguasa adalah bahasa.

Bahasa adalah ekspresi kekuasaan, praktik bahasa rnenentukan bagaimana individu atau warganegara. Bahasa merupakan ruang bagi pergelaran kuasa, kekuasaan terukir sejelas-jelasnya dalam bahasa.