Refleksi kehidupan, Melihat suku Baduy anak Dalam

BANTEN, LDN – Banyak yang kita dapat dan ambil hikmah dalam kehidupan masa lalu nenek moyang kita , zaman nenek moyang (baca : masa lalu) sampai kehidupan masa kini (zaman Now) mereka tetap mempertahankan budaya hidup masyarakat suku pedalaman , sampai saat ini mereka menolak kehidupan secara moderen dengan suatu alasan, bahwa hidup sederhana dan tertutup dari dunia luar membuat mereka bahagia, rata rata umur mereka mencapai 95 tahun, Sangat rendah dalam hal tingkat kematian.

Tidaklah aneh suku anak dalam (Baduy), ini mempunyai pola pikir yang lebih cerdas dari manusia luar atau moderen , dalam pola pikiran mereka walaupun keseharian nya menolak suguhan televisi dan alat komunikasi modern lainnya seperti Hand phone dan radio juga penerangan berupa listrik , kenyataannya anak suku dalam menguasai baca tulis secara otodidak.

Banyak orang gereja dan pemuka agama islam mengajak mereka agar beralih agama menjadi umat kristen ataupun islam dengan bujuk rayu materi serta pasilitas dunia , tetap tak tergoda, jawab mereka sederhana,”Jangan ganggu kehidupan kami yang di anggap terbelakang , itu bodoh. Dan rendah .. , mereka orang luar ( maksudnya: juru dakwah) itu benahi dulu keadaan mereka, kalau sudah benar tidak ada cacat dan bersih semua baru ajak mereka, ungkap Pak Musung seorang warga Gasebo kepada penulis.

“Sebelum melakukan ekspedisi ke suku anak dalam Baduy , tim di tampung menginap di desa Gasebo, di rumah milik pak Musung. Perkiraan jarak tempuh sejauh 250 km lebih kurang 2 jam perjalanan dari tempat meyimpan mobil , nama desanya Cibeleger, Dari sana jalan kaki masuk gunung naik turun jalan menuju tempat suku anak dalam”..

Ketika kita mengambil hikmah dari pola hidup mereka , maka bisa kita simpulkan bahwa total keseharian suku anak dalam tersebut, untuk hidup bahagia itu harus menyatu dengan alam.
Hidup bergelimang harta dan kemewahan menurut suku anak dalam , membuat hidup menjadi tidak sehat, dengan bergelimang harta akan membuat pikiran tidak tenang juga terbelenggu oleh kerakusan, pamer, emosi tidak pernah merasa puas , bagi suku anak dalam hidup cukup dengan keseimbangan alam, sisi baik yang bisa diambil contoh dari kehidupan suku anak dalam adalah , ketika mereka bisa bertahan hidup dan tidak panceklik , karena mereka memiliki tempat menyimpan padi yang biasa di sebut Bubungan, yang bisa di manfaatkan sampai 50 thn.

Mereka mengatur cara hidup hemat , makan yang dapat di barter dari dunia luar atau dengan membeli, sehingga ekosistim lingkungan tidak rusak , tetap bisa dimanfaatkan sebagai ladang pertanian.
Ladang suku anak dalam hanya ada dua lokasi , pertama digarap sampai 5 tahun, baru bisa menggarap ladang yang kedua, setelah itu kembali pada ladang yang lama, adapun lahan hutan itu berbagi dengan kehidupan alam seperti dengan berbagai jenis hewan hutan.
Cara bercocok tanam adalah, 60 persen palawija 40 persen di biarkan untuk bagian binatang atau hewan hutan sebagai habitatnya. Agar ladang mereka tidak di serang hama juga ekosistim bisa terjaga.
Tidak seperti dunia luar , semua hutan di rusak semua hewan hutan tidak lagi menpunyai tempat mencari makan mengakibatkan mereka keluar dari hutan.

 

Suku anak dalam tidak akan menyerahkan wilayah adatnya kepada orang asing walaupun wilayah mereka memiliki potensi logam mulia , seperti emas dan batu bara. Mereka tetap menolak dan pertahankan dari orang asing yang masuk ke dalam wilayah mereka sejak dahulu kala sampai sekarang.

 

Berbeda dengan Dunia luar yang berdalih ekonomi untuk mensejahterakan rakyat, mengundang investor asing masuk menguasai sumber daya yang ada, akibatnya kedepan bangsa kita akan di kuasai asing, salah satunya sumber daya air kita sudah di kuasa negara Prancis dengan lebel produk Danone dan akua, yang sudah dijual sahamnya ke pihak asing, lalu anak cucu kita yang menanggung bebannya.

 

Penulis : Drs.Duono
Editor : Rahmat Budianto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *